Halo, 2025! Nggak terasa ini kita sudah masuk di bulan ketiga di tahun 2025. Tahun baru selalu membawa semangat baru, setuju? Bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadan, aku mau berbagi cerita tentang perjalanan untuk mendapatkan berat badan ideal. Yup, pasti sudah bisa nebak ya kalau salah satu resolusiku di tahun ini adalah diet untuk menurunkan berat badan.
Kesalahan yang aku lakukan saat diet
Kalau flashback ke tahun-tahun sebelumnya, aku tuh sudah mencoba banyak cara untuk menurunkan berat badan. Tapi, jujur saja, kebanyakan usaha yang aku lakukan tidak berhasil. Kenapa? Karena aku melakukan beberapa kesalahan saat diet.
Nah, kalau kamu juga lagi berjuang buat dapetin berat badan ideal, mungkin pengalaman aku ini bisa relate sama kamu. Siapa tahu kita pernah melakukan kesalahan yang sama!
Terlalu Ambisius Menetapkan Target
Hampir setiap tahun, menurunkan berat badan selalu masuk dalam daftar resolusi aku. Hehehe. Targetnya? Balik ke berat badan pas baru menikah, sekitar 50-55 kg. Makanya, aku selalu memulai tahun dengan target ambisius seperti “turun 10-15 kg dalam sebulan” biar cepat sampai ke angka ideal.
Tapi realitanya? Target yang terlalu muluk ini justru bikin aku stres sendiri. Aku lupa kalau seiring bertambahnya usia, metabolisme tubuh ikut berubah, jadi cara diet yang dulu berhasil belum tentu efektif sekarang. Begitu hasilnya nggak sesuai harapan, semangat langsung anjlok, motivasi hilang, dan akhirnya resolusi ini cuma jadi wacana lagi.
Diet yang Terlalu Ekstrem
Sejak punya anak pertama di tahun 2010 sampai sekarang, aku sudah coba berbagai macam diet. Mulai dari Cabbage Soup Diet (yang kaum millennial pasti familiar banget), diet golongan darah (bahkan sampai bela-belain beli bukunya), sampai diet hypnolangsing yang katanya bisa mengubah mindset lewat hipnotis. Nggak cuma itu, selama menjalankan program diet, aku sangat menghindari karbohidrat dan terlalu membatasi makanan.
Seperti biasa, di awal semangatnya membara, tapi begitu masuk tengah jalan, motivasi mulai kendor karena hasilnya nggak se-signifikan yang diharapkan. Ditambah lagi, aku nggak pernah konsultasi dulu dengan ahli gizi sebelum mulai diet dan tidak dibarengi dengan olahraga rutin. Alhasil, craving nggak terkendali, dan ujung-ujungnya malah over-eating.

Ternyata, terlalu membatasi makanan atau menjalani diet ekstrem malah bisa bikin usaha menurunkan berat badan jadi lebih sulit—bahkan gagal total. Ini karena tubuh memproduksi hormon stres kortisol secara berlebihan, yang justru bisa menghambat proses penurunan berat badan.
Pada jurnal ilmiah dengan judul Stress and Eating Behaviours disebutkan bahwa kortisol adalah hormon utama yang dilepaskan sebagai respons terhadap stres. Ketika melakukan diet ekstrem, tubuh akan merespon kondisi defisit kalori ini sebagai kondisi stres atau kelaparan dan memicu produksi kortisol. Jumlah kortisol yang tinggi akan meningkatkan nafsu makan, terutama terhadap makanan yang hyper palatable (tinggi gula, garam, dan lemak).
Tidak rutin berolahraga
Salah satu kesalahan terbesar yang aku lakukan selama diet adalah nggak rutin berolahraga.
Dulu, sebelum menikah, gaya hidupku bisa dibilang cukup aktif. Aku rajin nge-gym dan bahkan sempat ikut klub capoeira di UI. Tapi setelah menikah dan mulai bekerja, pelan-pelan kebiasaanku berubah jadi lebih banyak duduk alias sedentary lifestyle. Ditambah lagi, stres yang memicu craving serta kurangnya aktivitas fisik bikin berat badanku makin membengkak. Makin besar angka di timbangan, makin besar juga rasa malas buat mulai olahraga lagi. Rasanya berat banget buat memulai dari nol.

Padahal, olahraga secara rutin nggak cuma soal membakar kalori, tapi juga membantu meningkatkan metabolisme dan menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan. Selain itu, olahraga juga bisa jadi cara yang efektif untuk mengurangi stres. Nah ini berkaitan dengan poin sebelumnya yaitu dengan meningkatnya produksi kortisol yang jadi pemicu emotional eating.
Dulu tuh aku berpikir kalau olahraga harus yang berat dan intens, seperti lari berjam-jam atau nge-gym setiap hari. Karena memang dulu itulah yang aku lakukan.Aku bisa ke gym tiap hari dengan fokus latihan yang berbeda-beda setiap harinya. Jangan tanya, dulu aku bisa mengangkat beban hingga 80 kg. Dulu yaaa. Hahaha. Kalau sekarang sih udah jompo.
Tapi sebetulnya memulai dengan aktivitas ringan seperti jalan kaki 30 menit sehari atau stretching di pagi hari pun sudah cukup banget untuk membangun kebiasaan.
Tidak konsisten menjalankan diet
Ini dia nih, salah satu masalah terbesar yang bikin usahaku menurunkan berat badan selalu mentok di tengah jalan: nggak konsisten!
Kadang, aku semangat banget olahraga setiap hari, bahkan sampai bela-belain bangun pagi buat workout. Tapi seminggu kemudian? Malas total! Tiba-tiba mulai banyak alasan: capek kerja, cuaca nggak mendukung, atau sekadar “Ah, istirahat sehari aja nggak apa-apa,” yang ujung-ujungnya malah jadi seminggu penuh jadi couch potato alias nggak gerak sama sekali.
Hal yang sama juga terjadi soal pola makan. Awalnya niat banget meal prep dan ngikutin menu sehat. Tapi begitu ada godaan makanan enak—apalagi kalau ada acara keluarga atau kumpul sama teman—langsung lupa semua aturan. “Ah, cheating sekali aja nggak bakal ngaruh kok,” pikirku. Tapi nyatanya? Satu cheat day berubah jadi cheat week, dan akhirnya malah balik lagi ke kebiasaan lama.
Yang bikin tambah nyesek, setiap kali sadar sudah keluar jalur, rasanya makin malas buat mulai lagi dari awal. Progress yang sudah aku buat jadi sia-sia, dan akhirnya aku kembali ke titik nol. Begini terus polanya, muter-muter tanpa hasil yang benar-benar signifikan.Udah kaya lingkaran setan deh.
Mengubah mindset dan kebiasaan ini yang sulit karena aku terlalu fokus pada hasil instan. Aku maunya turun 5 kg dalam seminggu, perut rata dalam sebulan, dan langsung langsing tanpa harus struggle lama-lama. Ujung-ujungnya ya cuma semangat di awal saja, di akhir auto melempem. Aku baru sadar kalau masalahnya bukan cuma di diet atau olahraga yang aku pilih, tapi lebih ke konsistensi dan pola pikir. Aku harus belajar menikmati prosesnya, bukan sekadar mengejar angka di timbangan.
Resolusi 2025: Lebih Sehat dan Lebih Konsisten
Setelah berkali-kali gagal nurunin berat badan gara-gara berbagai kesalahan—mulai dari diet ekstrem yang bikin stres, nggak rutin olahraga, sampai mindset yang terlalu fokus sama hasil instan—tahun ini, aku mau jadi lebih sehat dan konsisten menjalankan healthy lifestye.
Dari semua pengalaman dan kesalahan yang aku lakukan selama menjalani diet, aku jadi paham kalau menurunkan berat badan itu nggak cuma soal angka. Yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar aku bisa hidup lebih sehat dengan cara yang realistis dan konsisten.
Dulu, aku selalu pasang target turun 10 kg dalam sebulan, tapi akhirnya malah nyerah di tengah jalan. Sekarang, aku pengen fokus ke bikin kebiasaan sehat yang bisa aku jalankan tanpa beban. Berikut ini adalah beberapa hal yang aku mulai jalankan:
1. Rutin Berolahraga
Aku sadar kalau olahraga itu bukan cuma buat nurunin berat badan, tapi juga bikin badan lebih fit dan sehat secara keseluruhan. Apalagi usia aku juga sudah tidak muda lagi. Jadi di tahun ini aku mulai lebih serius menjadwalkan olahraga secara rutin. Lalu apa bedanya dengan resolusi olahraga di tahun-tahun sebelumnya? Kali ini aku mau fokus pada aktivitas ringan yang mudah dilakukan supaya aku enjoy menjalaninya dan bisa konsisten.
Beberapa aktivitas yang aku lakukan adalah jalan kaki setiap pagi selama 30 menit atau mengikuti walking workout agar tubuh tetap aktif. Selain itu aku juga mulai coba latihan angkat beban ringan agar otot tetap terjaga.
Yang paling penting, aku nggak mau lagi melihat olahraga sebagai hukuman karena makan terlalu banyak. Aku ingin menjadikan olahraga sebagai bagian dari rutinitas yang aku nikmati dan bisa aku jalani dalam jangka panjang.
2. Mengatur Pola Makan
Salah satu kesalahan terbesar aku dulu adalah terlalu membatasi makanan sampai akhirnya craving dan malah makan berlebihan. Sekarang, aku nggak mau lagi jatuh ke pola diet yang menyiksa. Aku lebih fokus ke makan dengan lebih mindful, bukan sekadar ngitung kalori tapi juga benar-benar memperhatikan apa yang aku makan dan bagaimana tubuh aku meresponsnya. Aku mulai memperbanyak protein, serat, dan lemak sehat, sambil tetap menikmati makanan kesukaan tanpa merasa bersalah.

Selain itu, aku juga belajar mendengarkan tubuh, benar-benar lapar dan cuma pengen ngemil karena bosan atau stres. Aku juga belajar untuk lebih peka terhadap makanan yang bikin badan aku terasa lebih energik dan yang malah bikin aku gampang lemas atau kembung. Dengan pola pikir ini, aku berharap pola makan sehat ini bisa jadi bagian dari gaya hidup, bukan sekadar diet.
3. Menggunakan Tools untuk Menunjang Keberhasilan Diet
Biar bisa lebih disiplin dan bisa melihat progres dengan lebih jelas, aku juga mulai pakai berbagai tools untuk bantu diet. Contohnya, aku pake weight loss calculator buat ngecek target yang realistis, aplikasi penghitung kalori buat monitor asupan makanan, spreadsheet untuk mencatat apa yang aku makan (meal tracker), dan smartwatch buat memantau aktivitas harian. Dengan cara ini, aku jadi lebih terarah dan nggak gampang menyerah kalau progresnya terasa lambat.


Aku tahu ini nggak akan mudah, tapi kali ini aku nggak mau menyerah di tengah jalan lagi. Karena yang aku kejar bukan sekadar tubuh langsing, tapi tubuh yang lebih sehat, kuat, dan bahagia.
Mengenal Weight Loss Calculator dari culinaryschools.org
Menurunkan berat badan memang nggak bisa asal tebak-tebakan atau sekadar ikut tren diet yang lagi viral. Biar hasilnya lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan tubuh, aku butuh cara yang lebih terukur. Nah, salah satu tools yang membantu aku buat lebih realistis dalam menentukan target penurunan berat badan adalah Weight Loss Calculator dari Culinary Schools.

Kalkulator ini sangat membantu aku untuk menghitung berapa banyak kalori yang perlu aku konsumsi setiap hari berdasarkan usia, berat badan, tinggi badan, tingkat aktivitas, dan target penurunan berat badan yang aku inginkan. Jadi, nggak asal ngurangin makan atau diet ekstrem, tapi lebih ke memahami bagaimana tubuh bekerja dan berapa banyak energi yang sebenarnya dibutuhkan.
Yang aku suka dari kalkulator ini, dia bisa langsung memperkirakan kapan target berat badan ideal bisa tercapai, asalkan aku konsisten dengan pola makan dan aktivitas fisik yang sesuai. Jadi, aku nggak cuma nebak-nebak atau sekadar berharap turun sekian kilo dalam waktu yang nggak realistis. Selain itu, kalkulator ini juga menghitung indeks massa tubuh (BMI). Hasil kalkulasi menunjukkan kalau aku masuk dalam kategori obesitas. Huhuhu.

Selain itu, kalkulator ini juga bisa jadi acuan buat aku lebih mindful dalam memilih makanan. Aku jadi lebih paham kalau defisit kalori itu penting, tapi tetap harus seimbang, nggak boleh terlalu ekstrem karena justru bisa bikin tubuh stres dan metabolisme jadi kacau. Makanya, aku lebih fokus ke pola makan yang sehat dan bernutrisi, bukan sekadar mengurangi makan asal-asalan.
Dengan adanya health tools dari Culinary Schools, aku jadi lebih termotivasi buat konsisten dan nggak gampang nyerah kalau progress-nya nggak instan. Soalnya, aku tahu kalau aku sedang bergerak ke arah yang benar dan setiap perubahan kecil yang aku lakukan tetap punya dampak besar dalam jangka panjang.

Selain menyediakan berbagai tools seputar kesehatan dan diet, website Culinary Schools juga punya kategori Fun, yang berisi berbagai fitur seru dan edukatif seputar dunia kuliner. Salah satunya adalah Cooking Games for Kids, game memasak interaktif yang cocok buat anak-anak agar lebih mengenal dunia kuliner dengan cara yang menyenangkan.
Di sini, anak-anak bisa bermain berbagai game edukatif bertema makanan, memasak, dan manajemen restoran yang tidak hanya menghibur tetapi juga melatih keterampilan berpikir logis, kreativitas, dan pemahaman dasar tentang makanan sehat. Mulai dari game memasak sederhana hingga simulasi menjalankan restoran, semua games-nya cocok untuk mengasah ketertarikan anak-anak pada dunia kuliner sejak dini.
Beberapa games favorit aku dan anak-anak adalah Waffle, Go to Market, Serve the Pizza, dan Sweet Chocolate.

Selain permainan memasak, situs Culinary Schools juga menyediakan berbagai permainan edukatif lainnya. Untuk melatih daya pikir dan strategi, tersedia Brain Games seperti permainan kartu, board games, mahjong, dan teka-teki logika.
Sementara itu, bagi anak-anak yang gemar olahraga, ada Sports Games yang dikategorikan berdasarkan jenis olahraga seperti sepak bola, golf, dan bola basket. Dengan berbagai pilihan ini, anak-anak bisa belajar sambil bermain sesuai dengan minat mereka.
Penutup
Pada akhirnya, perjalanan menurunkan berat badan ini bukan cuma tentang angka di timbangan, tapi bagaimana aku bisa menjalani hidup yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih bahagia. Dengan menjadi lebih sehat, aku juga bisa lebih maksimal menjalani peranku sebagai ibu. Aku sadar bahwa perubahan besar itu dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Bukan soal diet ketat atau olahraga ekstrem, tapi lebih ke membangun kebiasaan yang bisa aku jalani dalam jangka panjang.
Apakah kamu punya resolusi yang sama seperti aku? Kita mulai bareng-bareng, yuk! Nggak perlu langsung sempurna, yang penting terus bergerak maju. Setiap usaha yang kita lakukan hari ini adalah investasi untuk versi diri kita yang lebih sehat di masa depan. Jadi, let’s do this—pelan-pelan tapi pasti, wujudkan resolusi hidup lebih sehat di 2025!